Antara Letusan Tambora, Waterloo dan Perang Diponegoro
Yogyakarta, Rabu 20 Juli 1825. Matahari kuning kemerah-merahan
mengambang rendah di atas kaki langit barat saat jarum jam menunjuk
pukul 17:00 setempat. Cahaya keemasannya melaburi langit senja dan juga
pucuk-pucuk pepohonan di seantero kota, seakan hendak melipur lara para
penduduknya yang menderita di bawah pendudukan Belanda. Namun keindahan
senja itu tak sanggup menghapus amarah membara. Di kejauhan sana, di
dekat kaki langit sebelah barat, asap mengepul pekat. Inilah saat
pasukan gabungan Kasultanan Yogyakarta dan Belanda menyerbu Ndalem Tegalrejo,
kediaman Pangeran Diponegoro di pedesaan sisi barat kota. Pasukan
gabungan itu datang menghantam dengan satu tujuan: meringkus sang
pangeran. Itulah jawaban atas sikap keras Pangeran Diponegoro yang
dianggap membangkang karena menolak rencana pelebaran jalan raya (kelak
menjadi bagian jalan raya Yogyakarta-Magelang) yang melintasi tapalbatas
Ndalem Tegalrejo. Penyerbuan berlangsung kelewat batas. Ndalem Tegalrejo
digedor, digeledah, diobrak-abrik dan lantas dibakar. Namun sang buruan
tak tertangkap. Bersama sejumlah pengiringnya, Diponegoro meloloskan
diri dari kepungan dan lantas menyingkir 10 km ke selatan, ke perbukitan
Selarong yang dipenuhi goa-goa kapur.
Diponegoro. Kadang ditulis juga sebagai Dipanegara. Tak satupun orang
Indonesia khususnya yang pernah mengenyam bangku sekolah yang asing
akan namanya. Diponegoro adalah pahlawan nasional Indonesia. Sosoknya
gampang terpatri dalam benak: berpakaian serba putih, bersorban putih
pula dan menyandang keris didepan raga. Tak heran jika tampilan ini
banyak ditiru khususnya dalam pentas perayaan peringatan kemerdekaan
republik ini, baik di sekolah, di karnaval menyusuri jalan-jalan utama
maupun di panggung serta layar perak. Tak berbilang pula kota-kota yang
menabalkan salah satu ruas jalan utamanya dengan namanya. Namanya pun
melekat pada daerah militer di Jawa Tengah (sebagai Kodam
IV/Diponegoro), juga pada salah satu lembaga perguruan tinggi prestisius
(Universitas Diponegoro). Sejumlah patung bernuansa kepahlawanan yang
menggambarkan sosoknya pun berdiri dimana-mana. Bahkan dua buah kapal
perang TNI-AL pun menyandang namanya, misalnya yang termutakhir KRI
Diponegoro-365.
Gambar
1. Dinding berlubang di pagar sisi barat eks Ndalem Tegalrejo (kini
Museum Sasana Wiratama Dipoengoro, Yogyakarta). Di sinilah Pangeran
Diponegoro meloloskan diri saat kediamannya diserbu pasukan gabungan
Kasultanan Yogyakarta dan Belanda, yang mengawali berkobarnya Perang
Diponegoro. Sumber: Amangkuratprastono, 2014.
Ya. Diponegoro memang pahlawan besar, sosok sentral dibalik Perang
Diponegoro atau yang dikenal juga sebagai Perang Jawa dalam melawan
penjajahan Belanda. Perang Diponegoro menjadi peperangan paling
berdarah, paling mahal dan paling menguras tenaga sepanjang sejarah
penjajahan Belanda di Indonesia. Hanya dalam tempo 5 tahun Belanda harus
mengerahkan 50.000 serdadu dengan tak kurang dari 15.000 diantaranya
tumpas berkalang tanah. Separuh korban tewas itu adalah pasukan terpilih
yang didatangkan langsung dari tanah Eropa. Perkebunan-perkebunan yang
selama ini menjadi lumbung uang dibakar dan dirusak. Total kerugiannya
pun melangit, mencapai angka 20 juta gulden pada masa itu atau setara
milyaran rupiah di masa kini. Dikombinasikan dengan duit yang harus
dirogoh dalam perang Napoleon di daratan Eropa yang disusul
pemberontakan Belgia dan perang Paderi di Sumatra, Perang Diponegoro
membuat pemerintah Belanda maupun satelit seberang lautannya (yakni
pemerintah kolonial Hindia Belanda) mendapati diri mereka bangkrut
sebangkrut-bangkrutnya.
Diponegoro sejatinya bukan nama diri. Itu adalah gelar kepangeranan
yang bukan main-main. Gelar bagi seorang pangeran yang menyebarkan
pencerahan dan kekuatan bagi sebuah negara. Sebelum 1825 gelar ini
acapkali dipakai sejumlah putra raja wangsa Mataram masa itu. Pangeran
Diponegoro yang kita bicarakan ini lahir sebagai BRM (Bandoro Raden Mas) Mustahar,
putra sulung Sri Sultan Hamengku Buwono III, di tahun 1785. Saat
beranjak remaja, sesuai tradisi keraton maka namanya bersalin menjadi RM (Raden Mas) Ontowiryo. Dan pada tahun 1812 beliau dinobatkan sebagai pangeran dengan menyandang gelar BPH (Bandoro Pangeran Haryo) Diponegoro.
Sebagai putra tertua sang raja yang sedang bertahta, Diponegoro pun
memiliki kesempatan untuk menjadi raja berikutnya. Namun Diponegoro tahu
diri, ia bukanlah putra permaisuri. Sebaliknya ia justru keluar dari
lingkungan keraton dan tinggal di pedesaan untuk mendekatkan diri dengan
rakyat Yogyakarta sembari memperdalam ilmu agama (Islam). Dalam
saat-saat tertentu sang pangeran, dengan menyamar sebagai wong cilik,
bahkan tak segan-segan blusukan ke pelosok tanah Mataram, dua abad sebelum kosakata blusukan menjadi trademark Jokowi.
Namun selepas Perang Diponegoro, tak satupun bangsawan wangsa Mataram
baik di Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta maupun Pakualaman
dan Mangkunegaran yang bersedia menyandang nama Diponegoro lagi. Nama
itu ibarat aib, pembawa kutukan. Bagi Kasultanan Yogyakarta sendiri,
Pangeran Diponegoro bahkan dipandang sebagai sosok pengkhianat. Betapa
tidak? Perang Diponegoro merenggut korban tak kepalang. Lebih dari
seperlima juta orang Jawa meregang nyawa. Populasi warga Yogyakarta pun
menyusut hingga tinggal separuh. Seluruh biaya peperangan di pihak
Belanda dibebankan ke Kasultanan. Dan begitu perang usai, Belanda
melucuti wilayah Kasultanan terutama di Bagelen (sekarang Purworejo),
Banyumas dan Panjer (sekarang Kebumen) sebagai pampasan perang.
Kasultanan pun nyaris bangkrut, hampir terhapus dari panggung sejarah.
Tak heran jika kebencian pun berakar dalam. Bahkan keturunan Diponegoro
dilarang untuk memasuki keraton, kapanpun dan atas alasan apapun.
Larangan ini baru dicabut lebih dari seabad kemudian pada masa Sri
Sultan Hamengku Buwono IX, kala zaman sudah berubah. Apalagi setelah
Presiden Soekarno berinisiatif menggelar peringatan satu abad wafatnya
Pangeran Diponegoro pada 1955.
Faktor
Gambar
2. Pertempuran Nglengkong 30 Juli 1826 dalam sketsa. Pasukan gabungan
Kasultanan Yogyakarta dan Belanda berhadapan dengan laskar Diponegoro,
yang menghasilkan kemenangan terbesar bagi Pangeran Diponegoro pada saat
itu. Sumber: Amangkuratprastono, 2014.
Buku-buku sejarah di bangku sekolah menyebut penyerbuan Ndalem Tegalrejo
itulah penyulut Perang Diponegoro. Ya. Perang Diponegoro memang dimulai
dari Tegalrejo. Namun penyerbuan Tegalrejo bukanlah faktor utama
penyebab perang. Sang pangeran sendiri dalam Babad Diponegoro, karya
sastra biografis yang ditulis Diponegoro selama masa penawanan di pulau
Sulawesi dan kini telah diakui secara internasional sebagai salah satu Memory of the World
oleh UNESCO, menyebut bibit peperangan besar itu telah bersemi semenjak
12 tahun sebelumnya. Yakni saat kolonialisme Eropa mempertontonkan
wajah kurangajarnya dengan mulai mencampuri urusan internal Kasultanan.
Inggris, yang saat itu menguasai pulau Jawa sebagai ekses perang
Napoleon, mengacak-acak keraton, memprovokasi terbentuknya kadipaten
Pakualaman (sebagai pecahan Kasultanan) dan bahkan pada puncaknya
melakukan penjarahan akbar pada 1812.
Inggris tak bertahan lama di Yogyakarta. Mulai pertengahan 1816,
Belanda kembali dan mengambil-alih seluruh wilayah jajahannya. Dalam
keadaan hampir bangkrut, Belanda meneruskan praktik provokasi Inggris.
Keraton makin diacak-acak. Minuman keras bergentayangan dimana-mana,
membuat para pangeran muda dan tua mabuk tanpa kenal ruang dan waktu.
Perselingkuhan opsir-opsir Belanda dengan para putri keraton pun
merebak. Sedemikian parah situasinya sehingga Mahandis Y. Thamrin dalam National Geographic Indonesia
edisi Agustus 2014 bahkan menyebut Belanda memperlakukan keraton tak
ubahnya seperti tempat pelacuran. Di luar keraton, Belanda melakoni
model penjajahan gaya batu dengan membebani setiap orang lewat aneka
macam pajak yang mencekik leher. Di wilayah Bagelen saja setiap orang
dibebani membayar 13 jenis pajak sekaligus! Zaman pun menjadi edan.
Lambat laun kekurangajaran Belanda di dalam dan di luar keraton
laksana menyulut bara dalam sekam. Ketidaksukaan dan kebencian merebak
dimana-mana, baik di kalangan bangsawan, prajurit, ulama, bupati,
demang, santri, petani maupun rakyat kecil pemberani. Kegemaran
blusukannya membuat Diponegoro mampu mencermati ketidaksukaan itu. Dan
beliau tidak menulikan diri. Sebaliknya, Diponegoro justru mulai
membentuk jaringan rahasia dengan mereka untuk membangun kekuatan. Dana
pun mulai mengalir, terutama dari para bangsawan dan dari pencegatan
demi pencegatan konvoi logistik Belanda yang sekilas terkesan sebagai
tindakan sporadis. Dengan dana tersebut dibangunlah kilang mesiu rahasia
di pinggiran Yogyakarta dan tempat-tempat lain. Senapan pun mulai
dibeli dari Prusia. Organisasi militer mulai dibentuk dengan mengacu
pada struktur tentara imperium Turki Utsmani.
Dengan semua persiapan nan senyap itu Perang Jawa memang benar-benar tinggal menunggu waktu. Dan si pemicu pun datanglah, kala Ndalem Tegalrejo
diserbu. Tak heran jika hanya dalam dua minggu pasca penyerbuan
Tegalrejo, Diponegoro kembali ke kota Yogyakarta, kali ini bersama 6.000
prajurit. Kota dikepung dari segenap penjuru selama sebulan lebih
semenjak 7 Agustus 1825. Tak sekedar mengepung dan memutuskan seluruh
akses jalan masuk kota, pasukan Diponegoro secara sistematis juga
menghujani Yogyakarta dengan mesiu khususnya ke target-target strategis
milik Belanda. Yogyakarta menjadi lautan api. Belanda pun kewalahan dan
memilih bertahan sekuat tenaga di dalam Benteng Vredeburg sembari
menunggu bala bantuan dari Batavia.
Waterloo
Selain faktor-faktor yang bersifat lokal itu, faktor global turut
menjadi penyebab Perang Diponegoro. Seperti berkecamuknya Pertempuran
Waterloo (1815) di daratan Eropa dan disusul berjangkitnya penyakit
demikian rupa hingga menciptakan wabah berskala besar yang berujung
pandemi (1817-1824). Cukup menarik bahwa dua faktor global tersebut
nampaknya sangat dipengaruhi sebuah peristiwa alamiah dalam skala yang
sungguh luar biasa, yakni Letusan Tambora 1815.
Bagaimana bisa demikian?
Gambar
3. Pertempuran Waterloo dalam lukisan William Sadler. Kekalahan
Perancis dalam perang besar ini mengubah geopolitik Eropa dan
berpengaruh global, termasuk memicu Perang Diponegoro.
Pertempuran Waterloo adalah perang yang menentukan kejatuhan
kekaisaran Napoleon Bonaparte. Napoleon adalah produk ajaib revolusi
Perancis, revolusi yang semula bertujuan meruntuhkan kekuasaan monarki
absolut (mutlak) namun belakangan justru berbuah tegaknya kembali
kekuasaan monarki absolut yang lain. Selagi menjabat kaisar Perancis,
Napoleon berusaha mewujudkan ambisinya menyatukan seluruh daratan Eropa
di tangannya. Ambisi ini menyebabkan Perancis terus-menerus bertempur
dengan negara-negara tetangganya, terutama Inggris dan Prusia, yang
mewujud dalam sejumlah episode Perang Koalisi. Mulai Perang Koalisi
Ketiga (1805) hingga Perang Koalisi Kelima (1809), Perancis memetik
banyak kemenangan. Sehingga pada 1812 imperium Perancis mencapai puncak
kejayaannya dengan wilayah membentang luas meliputi hampir seluruh
daratan Eropa barat, kecuali Portugis dan Eropa tenggara menjadi wilayah
imperium Turki Utsmani, yang dianggap sekutu Perancis. Sebaliknya Eropa
timur sepenuhnya ada di bawah kekaisaran Rusia. Maka Napoleon dan
pasukannya pun bermanuver ke timur.
Namun invasi Napoleon ke Rusia justru membuatnya tersungkur telak.
Taktik yang salah, musim dingin yang demikian menggigil membekukan dan
sengatan wabah tipus membuat Perancis mengalami kekalahan besar-besaran.
Napoleon terpaksa pulang dengan memalukan dari Moskow sembari membawa
hanya 4 % dari sisa pasukannya, setara 27.000 orang. Sebagian besar
lainnya tewas atau malah tertangkap lawan. Demoralisasi pun menyebar di
sekujur Perancis. Akibatnya saat koalisi Prusia, Swedia, Austria dan
Jerman bangkit mengeroyok Perancis dengan bantuan Rusia dalam Perang
Koalisi Keenam (1812-1814), Napoleon dipaksa bertekuk lutut. Setengah
juta pasukan koalisi berbaris rapi memasuki kota Paris pada 30 Maret
1814 dan sang kaisar yang terguling dipaksa pergi ke pengasingan di
pulau Elba, lepas pantai barat Italia. Koalisi mendudukkan raja Louis
XVIII, monarki sebelumnya, sebagai penguasa Perancis yang baru. Bersama
Inggris Raya koalisi pun mulai merancang pertemuan di Wina guna menata
ulang geopolitik Eropa sesuai monarki-monarki yang ada sebelum
meletusnya perang Napoleon. Pertemuan mulai terlaksana setengah tahun
kemudian dan lantas populer sebagai Kongres Wina.
Mendadak berhembus kabar Napoleon Bonaparte meloloskan diri dari
pulau Elba. Kabar itu ternyata benar dan sejatinya tak mengejutkan
seiring lemahnya penjagaan di pulau Elba. Napoleon mendarat di Perancis
pada 1 Maret 1815 dan segera memperoleh dukungan luas dari publik untuk
merengkuh kembali tahta kekaisarannya. Raja Louis XVIII terpaksa lari
terbirit-birit dari Paris. Begitu imperium Perancis kembali, sasaran
pertamanya adalah menghabisi seluruh musuhnya. Maka 280.000 prajurit
baru pun disiapkan ditambah dengan 250.000 veteran perang. Napoleon juga
mengeluarkan dekrit baru yang memungkinkan 2,5 juta penduduk memasuki
legiun-legiun Perancis. Di luar sana, koalisi Austria, Prusia, Rusia dan
Inggris Raya pun segera mengorganisir diri. Pasukan besar juga dibentuk
dan siap dibenturkan. Perang Koalisi Ketujuh pun siap berkobar.
Malang, kali ini Napoleon (kembali) harus jatuh tersungkur. Serangan
dadakannya ke pusat konsentrasi pasukan koalisi di Brussels (Belgia)
yang belum sempat menata diri berujung petaka di Waterloo. Hujan sangat
deras yang salah musim mendadak mengguyur, membuat jalanan menjadi
demikian berlumpur sehingga artileri berat yang menjadi tulang punggung
pasukan Perancis tak bisa bergerak leluasa. Tak lama kemudian udara kian
mendingin, fenomena aneh untuk rentang waktu yang seharusnya adalah
musim panas. Udara yang kian mendingin membuat pasukan Perancis
terserang radang dingin hingga menyulitkan gerakannya. Demikian
dinginnya sehingga pasukan Perancis sampai-sampai terpaksa membakar
setiap sepatu tak terpakai sekedar untuk menghangatkan badan. Ambisi
Napoleon membuat lawan-lawannya kocar-kacir sembari berharap Inggris
pulang kembali ke negerinya dan Prusia keluar dari koalisi pun lenyap
laksana kabut dipanggang sinar Matahari. Justru sebaliknya pasukan
Perancis yang mendapat pukulan sangat telak hingga segenap sayapnya
lumpuh. Korban pun sangat besar, dari 72.000 prajurit Perancis hanya 29 %
yang selamat di akhir pertempuran. Bandingkan dengan kekuatan koalisi,
yang masih menyisakan 80 % pasukannya dari yang semula berkekuatan
118.000 prajurit.
Akumulasi faktor-faktor yang tak menguntungkan membuat Perancis tak
lagi punya keunggulan hingga terpaksa harus bertekuk lutut di bawah kaki
pasukan koalisi di akhir pertempuran pada 18 Juni 1815. Sebagai
konsekuensinya Napoleon pun mundur dari tahta dan menyerahkan diri ke
Inggris. Inggris lantas mengasingkannya ke pulau Saint Helena di
tengah-tengah Samudra Atlantik lepas pantai barat Afrika hingga akhir
hayatnya. Kongres Wina pun kembali digelar dan menghasilkan sejumlah
keputusan. Salah satunya adalah dikembalikannya tanah Nusantara ke
tangan Belanda sekaligus menegakkan kembali pemerintah kolonial Hindia
Belanda menggantikan pemerintahan pendudukan Inggris.
Tambora
Gambar
4. Letusan Gunung Pinatubo pada Juni 1991, menjelang puncak letusan
katastrofiknya. Debu vulkanik Pinatubo disemburkan jauh tingga hingga
memasuki lapisan stratosfer dan sempat menciptakan tabir surya vulkanik
meski tak berdampak besar bagi iklim Bumi. Letusan Tambora 1815 pada
dasarnya juga demikian, hanya saja 16 kali lipat lebih dahsyat ketimbang
Pinatubo. Sehingga dampaknya pun sangat besar. Sumber: USGS, 1991.
Tak sulit untuk melihat hujan sangat deras dan udara yang mendadak
mendingin adalah salah satu faktor krusial yang menentukan kekalahan
Perancis di medan perang Waterloo. Mengapa kedua hal yang tak
menguntungkan Perancis itu terjadi? Pertempuran Waterloo berkecamuk pada
15 Juni 1815. Maka tak sulit untuk mengaitkan jalannya pertempuran
dengan peristiwa alamiah berskala luar biasa yang terjadi dua bulan
sebelumnya mengambil tempat ribuan kilometer dari Waterloo, yakni di
kepulauan Nusantara. Itu adalah meletusnya Gunung Tambora,
yang mencapai puncak kedahsyatannya dalam kurun 5 hingga 15 April 1815.
Letusan ini menyemburkan 160 kilometer kubik (160.000 juta meter kubik)
material vulkanik. Milyaran ton debu vulkanik sangat halus menyembur
tinggi hingga mencapai lapisan stratosfer. Bersamanya terbawa serta
ratusan juta ton gas belerang, yang lantas bereaksi dengan air membentuk
tetes-tetes asam sulfat. Paduan keduanya membentuk tabir surya vulkanik
yang menyelubungi sekujur penjuru atmosfer Bumi pada ketinggian antara
10 hingga 30 km. Tabir surya ini membuat 25 % cahaya Matahari tereduksi
sehingga hanya 75 % saja yang berhasil ditransmisikan ke Bumi. Akibatnya
suhu rata-rata permukaan Bumi pun menurun dengan segala akibatnya.
Mudah untuk melihat bahwa hujan salah musim dan sangat deras
merupakan bagian dari kacau-balaunya cuaca akibat penurunan suhu
rata-rata permukaan. Pun demikian dalam hal udara yang kian mendingin.
Hal yang sama juga bertanggungjawab atas terjadinya wabah penyakit
berskala global. Udara yang lebih dingin, tebaran debu vulkanik dan
cuaca yang kacau membuat sanitasi lingkungan memburuk. Bibit penyakit
yang semula hanya endemis di daerah tertentu pun sanggup menyebar lebih
jauh. Inilah yang terjadi dengan kolera, yang semula hanya berjangkit di
kawasan lembah Sungai Gangga (India). Namun semenjak 1817 kolera mulai
tersebar ke kawasan lain. Pada puncaknya hampir seluruh Asia tersapu
wabah penyakit mematikan ini, bersama dengan sisi timur Afrika dan
sebagian Eropa Timur. Wabah kolera inilah yang menyebabkan kematian
massal di tanah Jawa. Demikian banyak penduduk yang meninggal sehingga
lahan pertanian tak terurus. Akibatnya bencana kelaparan pun merebak.
Wabah ini tak pandang bulu dalam memilih korbannya, kalangan bangsawan
dan bahkan Sri Sultan Hamengku Buwono IV pun turut menjadi sasaran. Tak
pelak bencana ini pun berimbas ke ranah sosial-politis, terutama setelah
Belanda memilih putra raja (yang baru berusia 3 tahun) menjadi raja
selanjutnya bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono V. Karena belum cukup
umur, Pangeran Diponegoro ditunjuk sebagai wali raja namun pemerintahan
sehari-hari sejatinya dikendalikan Residen Belanda bersama Patih
Danurejo IV.
Gambar
5. Kaldera Gunung Tambora yang demikian luas dan dalam. Cekungan air
berwarna kehijauan didasarnya adalah Danau Motilahalo. Kaldera ini
terbentuk dalam Letusan Tambora 1815 yang dahsyat, hampir 2 abad silam.
Kedahsyatannya memicu beragam dampak sosial-politis, termasuk
Pertempuran Waterloo dan juga Perang Diponegoro. Sumber: Wahibur Rahman,
dalam Geomagz vol. 4 no. 2 (Juni 2014).
Kita bisa beranda-andai bagaimana jika pada saat itu Gunung Tambora
tak meletus dahsyat? Takdir memang adalah garis nasib yang sepenuhnya
menjadi kuasa Allah SWT. Namun jika Letusan Tambora 1815 tak terjadi,
jalannya Pertempuran Waterloo mungkin bakal berbeda. Mengingat sebelum
pasukan Prusia berhasil berkonsolidasi dengan rekan-rekan koalisinya,
kekuatan koalisi di Waterloo hanyalah berjumlah 68.000 prajurit.
Sementara Perancis sedikit lebih unggul dengan 72.000 prajurit dan masih
dilengkapi artileri berat yang lebih baik. Maka andaikata letusan
dahsyat itu tak berlangsung, Perancis mungkin bisa mengungguli kekuatan
koalisi. Sejarah berkemungkinan berubah total. Kongres Wina bisa urung
mencapai hasilnya dan Belanda dengan penjajahan gaya batunya mungkin
takkan datang ke tanah Jawa pada pertengahan 1816 itu.
Referensi:
Djamhari. 2003. Strategi Menjinakkan Diponegoro: Stelsel-Benteng 1827-1830. Jakarta: Komunitas Bambu.
Penadi. 2000. Riwayat Kota Purworejo dan Perang Bharatayudha di Tanah Bagelen Abad XIX. Purworejo: Lembaga Studi Pengembangan Sosial dan Budaya.
Thamrin. 2014. Kecamuk Perang Jawa. National Geographic Indonesia edisi Agustus 2014, hal. 28-49.
Blog Amangkurat Prastono.
http://ekliptika.wordpress.com/2014/08/19/antara-letusan-tambora-waterloo-dan-perang-diponegoro
Ayo Join Cikarsya.com
jangan lupa like https://www.facebook.com/ci.tion untuk menambahkan informasi terbaru terkait penawaran paket wisata, pelatihan-pelatihan, snack and catering, lowongan kerja, les dan privat tingkat sd, smp, sma/sederajat, motivasi dan lainnya.
mau join sms gratis ?? kali ini dikhususkan kepada pengguna kartu Three silahkan untuk melakukan pendaftaran dengan cara, ketik : DAFTAR_Nama Lengkap_Kota Tinggal_Alamat Email kemudian kirimkan ke 089671454046.
Like Facebook Page, Follow Twitter atau add Google + CikarsyaSolution untuk terus mendapatkan informasi terbaru seputar Wisata Indonesia, Resep Makanan Gratis, Download Soal Gratis, Penawaran Design Jaket, Kemeja dan Koas, Dowload Film dan Download Software Gratis terbaru. Mau tukar follow maka tinggalkanlah pesan yang baik.
Mawi Tour and Travel merupakan salah satu penyedia jasa layanan wisata di Indonesia yang berkantor di Yogyakarta. Mawi Tour and Travel merupakan nama terbaru dari Cikarsya Tour and Travel.
Untuk melakukan pemesanan bisa langsung menghubungi :
Head Office : Sunten RT 08/32 Jomblangan Banguntapan Bantul Yogyakarta 55198
Telp. 089671454046 Email : cikarsya@gmail.com
Kami
juga menyediakan paket wisata Golden Sunrise Sikunir Dieng Plateau,
Wisata Karimun Jawa, Wisata Bali, Wisata Bandung, Wisata Pangandaran,
Wisata Rafting Sungai Elo dan Sungai Progo dan Paket Wisata lainnya.
Waspadai
berbagai macam penipuan yang mengatasnamakan Cikarsya Solution karena
kami tidak pernah memungut biaya sedikitun sebelum kesepakatan kedua
pihak disepakati.
Untuk melihat foto-foto kami bisa mengunjungi cikarsya.com
'klik' saja. Untuk sementara kami masih dalam proses maintenance
sehingga fotonya masih belum bisa kami publikasikan secara keseluruhan.
Untuk menikmati foto sebelum pemindahan www.cikarsya.blogspot.com ke www.cikarsya.com
bisa mengunjungi link berikut : Mawi Tour and Travel
# Kolom Iklan #
0 Komentar