Warisan Nabi Yang Terlupakan
Buletin At-Tauhid edisi 20 Tahun XI
Kaum muslimin yang dirahmati Allah Ta’ala, menimba ilmu
adalah sebuah amalan yang sangat utama. Karena dengan ilmu itulah
seorang bisa memetik manfaat untuk dirinya dan menebar faidah untuk
sesama. Ilmu adalah warisan yang ditinggalkan oleh para nabi untuk umat
manusia. Kebutuhan manusia kepada ilmu jauh lebih besar daripada
kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan
padanya maka Allah akan pahamkan dalam urusan agama.” (HR. Bukhari dan
Muslim). Hadits yang agung ini menunjukkan bahwa ilmu adalah kunci
kebaikan. Karena ilmu adalah imam/pemimpin atas amalan. Beramal tanpa
ilmu akan menimbulkan banyak kerusakan dan kekacauan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa yang menempuh jalan dalam rangka mencari ilmu (agama) maka
Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim). Menimba
ilmu adalah jalan menuju surga. Karena surga hanya akan dimasuki oleh
orang-orang yang bertakwa. Sementara ketakwaan tidak bisa diwujudkan
apabila tidak dilandasi dengan ilmu.
Ilmu adalah jalan menuju kemuliaan. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan memuliakan dengan
sebab Kitab ini (Al-Qur’an) sebagian kaum dan akan merendahkan dengan
sebab itu pula sebagian kaum yang lain” (HR. Muslim). Maknanya, orang
yang memahami dan mengamalkan Al-Qur’an akan diberikan kemuliaan
sedangkan orang yang tidak mau memahami dan mengamalkannya maka akan
dihinakan. Oleh sebab itu, ilmu adalah gerbang menuju keutamaan.
Ilmu adalah jalan menuju kebaikan dan keteladanan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik kalian
adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya” (HR.
Bukhari). Mempelajari Al-Qur’an tentu tidak hanya terbatas pada cara
membacanya, tetapi juga mencakup tafsirnya, penjelasan faidah dan hukum
yang terkandung di dalamnya.
Ilmu adalah jalan menuju petunjuk dan keselamatan. Allah
Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti
petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka” (QS.
Thaha : 123). Ibnu ‘Abbas menafsirkan, “Allah memberikan jaminan kepada
siapa saja yang membaca Al-Qur’an dan mengamalkan ajaran yang terkandung
di dalamnya, bahwa dia tidak akan tersesat di dunia dan tidak akan
celaka di akhirat.” (Tafsir At Tobari). Oleh sebab itulah kebutuhan
manusia kepada ilmu sangatlah besar. Imam Ahmad berkata, “Umat manusia
jauh lebih membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan
minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari sekali atau
dua kali saja. Adapun ilmu dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.”
(disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Miftah Daar as-Sa’aadah). Sungguh
benar apa yang telah beliau katakan… Bukankah setiap hari di dalam
sholat kita berdoa kepada Allah memohon hidayah kepada jalan yang lurus?
Ya, sebagaimana doa yang selalu kita baca ‘ihdinash shirathal mustaqim’
yang artinya, “Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus.” Setiap hari
kita membacanya minimal 17 kali. Hal ini menunjukkan kepada kita
besarnya kebutuhan setiap insan terhadap ilmu dan hidayah dari Allah.
Ilmu yang wajib untuk kita pelajari itu adalah ilmu agama;
yaitu ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena dengan berpegang teguh dengan
keduanya seorang muslim akan bisa selamat di dunia dan di akhirat. Ilmu
yang menumbuhkan rasa takut kepada Allah Ta’ala dan melahirkan
ketakwaan kepada-Nya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud,
“Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat, akan tetapi hakikat ilmu
itu adalah rasa takut -kepada Allah-” (Al Fawa’id, Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah). Dan diantara ilmu agama ini maka ilmu tauhid merupakan
ilmu yang paling pokok dan paling utama. Sebab tauhid adalah asas dan
pondasi agama Islam. Tidak akan masuk surga kecuali orang yang
bertauhid, dan tidaklah selamat dari neraka kecuali orang yang
bertauhid. Tauhid itu adalah mengesakan Allah Ta’ala dalam beribadah.
Sebagaimana ayat yang setiap hari kita baca ‘iyyaka na’budu wa iyyaka
nasta’in’ yang artinya, “Hanya kepada-Mu ya Allah, kami beribadah dan
hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” Tauhid inilah hikmah dan
tujuan penciptaan diri kita. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat : 56). Para ulama menafsirkan, bahwa yang
dimaksud beribadah di sini adalah bertauhid. Karena ibadah tanpa tauhid
tidak akan diterima di sisi Allah Ta’ala, walaupun orang itu banyak
melakukan sholat, puasa, dan sedekah akan tetapi jika dia berbuat syirik
maka lenyaplan amal-amal kebaikannya. Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang
sebelummu; Jika kamu berbuat syirik maka pasti akan lenyap seluruh
amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang yang merugi”
(QS. Az-Zumar : 65). Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Dan
Kami hadapi segala amal yang dahulu mereka lakukan kemudian Kami
menjadikannya bagaikan debu-debu yang beterbangan” (QS. Al-Furqan : 23).
Marilah kita cermati keadaan umat manusia. Banyak orang
yang lalai dan lupa terhadap ilmu tauhid ini. Di saat yang sama, banyak
sekali manusia yang begitu bersemangat dan rela mencurahkan segalanya
demi mencari ilmu-ilmu selainnya. Mereka rela menghabiskan waktunya,
hartanya, dan mengorbankan apa saja demi mengumpulkannya dan menjadi
ahli di bidangnya sementara dalam masalah tauhid -yang itu adalah
masalah paling utama dan paling dibutuhkan olehnya- mereka justru lalai
dan seolah tidak peduli. Kebaikan seperti apakah yang bisa kita raih
apabila kita tidak memahami tauhid? Kemuliaan seperti apakah yang bisa
kita capai apabila tauhid kita telantarkan? Kejayaan seperti apakah yang
ingin kita dapatkan apabila tauhid dan keikhlasan dicampakkan? Imam
Malik berkata, “Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan
apa-apa yang telah memperbaiki generasi awalnya.” Umar bin Khaththab
mengatakan, “Kami adalah suatu kaum yang telah dimuliakan oleh Allah
dengan Islam. Maka kapan saja kami mencari kemuliaan dengan selain
Islam, niscaya Allah merendahkan kami” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak,
shahih).
Bukankah generasi pertama umat ini mencapai kebaikan dan
kemuliaan dengan tauhid dan keikhlasan? Bukankah mereka berjaya karena
berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah? Bukankah menimba ilmu
adalah jalan menuju surga? Lalu apakah yang menghalangi kita dari
menimba ilmu tauhid dari Al-Qur’an dan As-Sunnah?
Apakah untuk urusan dunia dan hura-hura kita bisa
meluangkan waktu dan pikiran kita, sementara untuk urusan akhirat dan
agama kita tidak bisa?! Apakah kita sudah lupa kalau kita setiap hari
berdoa kepada Allah meminta petunjuk tujuh belas kali, kemudian kita
justru malas dan enggan untuk mencari ilmu agama?
Penulis : Ust. Ari Wahyudi, S.Si.
0 Komentar