Tafsir Al Baqarah Ayat 135-141
Ayat 135-138: Menyebutkan bantahan terhadap
orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menyangka bahwa hidayah (petunjuk)
terletak pada mengikuti mereka dan menerangkan, bahwa petunjuk yang
sebenarnya terletak dalam mengikuti ajaran Islam
وَقَالُوا
كُونُوا هُودًا أَوْ نَصَارَى تَهْتَدُوا قُلْ بَلْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ
حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١٣٥) قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ
وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ
وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى
وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لا نُفَرِّقُ بَيْنَ
أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ (١٣٦) فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ
مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ
فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (١٣٧)
صِبْغَةَ اللَّهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةً وَنَحْنُ لَهُ
عَابِدُونَ (١٣٨
135. Dan mereka berkata: "Jadilah kamu (penganut) agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk". Katakanlah: "Tidak, tetapi (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus (Islam)[1] dan dia tidak termasuk golongan orang yang mempersekutukan tuhan."
136.[2] Katakanlah (hai orang-orang mukmin)[3], "Kami beriman[4] kepada Allah[5] dan kepada apa yang diturunkan kepada kami[6], dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim[7], Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya[8], dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka[9]. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka[10], dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya"[11].
137. Maka jika mereka[12] telah beriman sebagaimana yang kamu imani[13],
sungguh mereka telah mendapat petunjuk. Tetapi jika mereka berpaling,
sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (denganmu), maka Allah akan
memelihara kamu dari mereka, dan Dia Maha mendengar lagi Maha
mengetahui. [14]
138. (Peganglah) Shibghah Allah[15], siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah? Dan (katakanlah) hanya kepada-Nya Kami menyembah[16].
Ayat
139-141: Menerangkan bantahan terhadap orang-orang yang menyangka bahwa
Ibrahim dan anak cucunya adalah orang-orang Yahudi atau Nasrani, serta
menerangkan bahwa sangkaan ini hanyalah sikap mengingkari, keras kepala
dan jauh dari kenyataan
قُلْ
أَتُحَاجُّونَنَا فِي اللَّهِ وَهُوَ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ وَلَنَا
أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُخْلِصُونَ (١٣٩) أَمْ
تَقُولُونَ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ
وَالأسْبَاطَ كَانُوا هُودًا أَوْ نَصَارَى قُلْ أَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ
اللَّهُ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَتَمَ شَهَادَةً عِنْدَهُ مِنَ اللَّهِ
وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (١٤٠) تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ
خَلَتْ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ وَلا تُسْأَلُونَ
عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ (١٤١
139. Katakanlah[17]: "Apakah kamu hendak berdebat dengan kami tentang Allah, Padahal Dia adalah Tuhan Kami dan Tuhan kamu[18]. Bagi Kami amalan Kami, dan bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya Kami dengan tulus mengabdikan diri.
140.
Ataukah kamu (hai orang-orang Yahudi dan Nasrani) mengatakan bahwa
Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya adalah penganut agama
Yahudi atau Nasrani?[19]
Katakanlah: "Kamukah yang lebih tahu atau Allah, dan siapakah yang
lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah[20] yang ada padanya?" dan Allah sekali-kali tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan[21].
141.
Itulah umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah diusahakannya dan
bagimu apa yang kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta
pertanggungjawaban tentang apa yang dahulu mereka kerjakan[22].
[1] Mengikuti Nabi Ibrahim itulah seseorang akan mendapatkan petunjuk, di mana Beliau seorang yang bertauhid dan menjauhi syirik.
[2]
Ayat yang mulia ini mengandung hal-hal yang wajib kita imani. Iman
adalah pembenaran dari hati kepada dasar-dasar ini, iqrar (pengakuan di
lisan) dan pengamalan dengan anggota badan. Berdasarkan arti ini, maka
kata iman sudah termasuk ke dalamnya Islam, demikian juga termasuk ke
dalam iman semua amal shalih. Amal shalih adalah bagian dari iman dan
salah satu atsar (pengaruh) di antara atsar-atsarnya. Oleh karena itu,
jika disebutkan iman secara mutlak, maka hal-hal tadi termasuk di
dalamnya. Demikian juga kata "Islam", jika disebutkan secara mutlak,
maka masuk juga ke dalamnya iman. Namun apabila disebut Iman dan Islam
secara bersamaan, maka iman adalah sesuatu yang menancap di hati berupa
pembenaran dan pengakuan, sedangkan Islam sebagai nama untuk amal-amal
yang nampak di luar. Sama seperti ini, jika disebut iman dan amal
shalih. Iman adalah sesuatu yang menancap di hati, sedangkan amal shalih
adalah amalan yang nampak di luar.
[3]
Maksudnya: perkataan yang dibenarkan oleh hati. Inilah perkataan yang
sempurna yang akan diberi pahala. Sebaliknya, jika terbatas di lisan
saja tanpa masuk ke dalam hati, maka hal itu merupakan nifak dan
kekufuran. Perintah untuk mengatakan hal-hal di atas adalah isyarat
untuk mengi'lankan (menampakkan secara terang-terangan) 'Aqidah Islam
sekaligus mendakwahkan manusia kepadanya.
[4]
Pada kata-kata ini "Kami beriman" dinisbatkan kepada umat Islam secara
menyeluruh yang menunjukkan wajibnya mereka berpegang dengan agama Allah
dan bersatu di atasnya serta larangan berpecah-belah. Ayat ini juga
menunjukkan bahwa kaum mukmin itu seperti satu jasad.
[5]
Kata-kata ini menunjukkan bolehnya seseorang menyebut dirinya beriman
'ala wajhit taqyid (secara tafshil, seperti: "saya beriman kepada
Allah", "saya beriman kepada kitab-kitab Allah" dsb.), bahkan hal itu
wajib. Berbeda jika mengatakan "saya seorang mukmin", maka harus
disertakan istitsna' (kata Insya Allah) karena di dalamnya terdapat
tazkiyah (anggapan suci terhadap diri) dan persaksian dirinya sebagai
mukmin.
Beriman kepada Allah mencakup beriman
bahwa Allah itu ada, Dia sebagai Rabbul 'alamin (Pencipta, Penguasa dan
Pemberi rezeki alam semesta), Mahaesa, memiliki sifat sempurna, bersih
dari sifat kekurangan dan cacat, yang satu-satunya berhak diibadahi dan
tidak boleh disekutukan.
[6] Mencakup beriman kepada Al Qur'an dan As Sunnah, berdasarkan surat An Nisa': 113 yang di sana disebutkan "wa anzalallahu 'alaikal kitaaba wal hikmah".
Oleh karena itu, dalam beriman kepada apa yang diturunkan Allah kepada
kita mencakup beriman kepada isi Al Qur'an dan As Sunnah, seperti
tentang sifat-sifat Allah, sifat-sifat rasul-Nya, tentang hari akhir,
hal-hal ghaib yang telah lalu dan yang akan datang serta beriman kepada
kandungan Al Qur'an dan As Sunnah berupa hukum-hukum syar'i yang berupa
perintah dan larangan dan hukum-hukum jaza'i (pembalasan terhadap amal)
dsb.
[7] Seperti shuhuf (lembaran-lembaran berisi wahyu).
[8] Mereka adalah para nabi yang berasal dari keturunan Ya'qub (Bani Israil).
[9]
Dalam beriman kepada kitab-kitab Allah, kita mengimaninya secara ijmal
dan tafshil. Secara ijmal (garis besar) maksudnya kita mengimani bahwa
Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah menurunkan kitab-kitab atau shuhuf
kepada para nabi meskipun tidak diberitahukan kepada kita namanya
seperti pada ayat di atas. Sedangkan secara tafshil (rinci) adalah kita
mengimani kitab-kitab tersebut secara rinci, yakni yang disebutkan nama
kitabnya dan siapa yang menerimanya karena kemuliaan mereka sehingga
disebutkan namanya dalam Al Qur'an dan karena mereka datang membawa
syari'at-syari'at yang agung. Misalnya: Mengimani Al Qur'an yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, Zabur
yang diturunkan kepada Nabi Dawud 'alaihis salam, Taurat yang diturunkan
kepada Nabi Musa 'alaihis salam dan Injil yang diturunkan kepada Nabi
Isa 'alaihis salam.
Dari ayat ini kita juga
mengetahui bahwa nikmat agama yang benar merupakan nikmat yang sangat
besar karena terkait dengan bahagia atau sengsara seseorang di dunia dan
akhirat. Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidak menyuruh
kita mengimani apa yang diberikan kepada para nabi berupa kerajaan,
harta dsb. Akan tetapi, Dia memerintahkan kita beriman kepada apa yang
diberikan kepada mereka berupa kitab-kitab dan syari'at mereka..
Disebutkan kata "Mirr rabbihim" (dari Tuhan mereka)
terdapat isyarat bahwa termasuk kesempurnaan rububiyyah (kepengurusan)
Allah kepada hamba-hamba-Nya adalah dengan menurunkan kepada mereka
kitab-kitab dan mengutus para rasul, dan Rububiyyah-Nya kepada
hamba-hamba-Nya menghendaki untuk tidak membiarkan mereka begitu saja
dalam kebingungan.
Apabila yang diberikan kepada
para nabi itu berasal dari Tuhan mereka, maka di sana terdapat perbedaan
antara para nabi dengan orang-orang yang mengaku sebagai nabi, yaitu
dengan melihat apa yang mereka dakwahkan. Para rasul tidaklah
mendakwahkan selain kepada kebaikan dan tidak melarang kecuali dari
perbuatan buruk, masing-masing mereka saling membenarkan tidak
bertentangan karena memang sama-sama berasal dari Tuhan mereka, berbeda
dengan orang yang mengaku sebagai nabi, pasti terjadi pertentangan
antara berita yang mereka sampaikan, demikian juga pada perintah dan
larangan sebagaimana hal itu diketahui oleh orang yang biasa mengkaji.
[10]
Maksudnya: tidak membeda-bedakan dalam beriman, yakni semuanya mereka
imani tidak seperti orang-orang Yahudi yang beriman hanya sampai kepada
Nabi Musa 'alaihis salam dan tidak seperti orang-orang Nasrani yang
beriman hanya sampai kepada Nabi Isa 'alaihis salam. Padahal kafir
kepada seorang nabi, sama saja kafir kepada semua nabi.
[11]
Setelah Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan beberapa hal yang wajib
diimani, baik secara umum maupun khusus, sedangkan ucapan tidak
berhenti sampai di situ, bahkan membutuhkan kerja nyata atau amal, maka
Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan untuk menambahkan "dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya",
yakni tunduk kepada keagungan-Nya dan patuh beribadah kepada-Nya baik
zhahir maupun batin sambil mengikhlaskan diri hanya kepada-Nya.
Ayat di atas meskipun ringkas, namun sebenarnya mencakup beberapa hal, di antaranya:
- Tauhid yang tiga; tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid asma' wash shifat.
- Beriman kepada semua Rasul.
- Beriman kepada semua kitab.
- Disebutkan sebagian para rasul setelah menyebutkan beriman kepada para rasul secara umum menunjukkan keutamaan mereka di atas yang lain.
- Menjelaskan tentang hakikat iman yang menghendaki adanya pembenaran di hati, lisan dan anggota badan serta berbuat ikhlas lillah dalam semua itu.
- Menjelaskan mana rasul yang sesungguhnya dengan orang yang mengaku sebagai rasul padahal bukan rasul.
- Menjelaskan tentang ucapan yang diajarkan Allah Subhaanahu wa Ta'aala kepada hamba-hamba-Nya.
- Menunjukkan rahmat (kasih sayang) Allah Subhaanahu wa Ta'aala dan ihsan-Nya kepada hamba-hamba-Nya dengan memberikan nikmat agama yang menjamin kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.
[12] Yakni ahli kitab.
[13]
Yakni dengan beriman kepada semua kitab dan semua rasul termasuk
beriman kepada Al Qur'an dan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa
sallam serta tunduk patuh kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala.
[14]
Orang yang beriman seperti yang diimani kaum mukmin adalah orang-orang
yang mendapat petunjuk kepada jalan yang lurus yang mengarah keppada
surga. Oleh karena itu, tidak ada jalan untuk memperoleh petunjuk itu
kecuali dengan beriman seperti di atas (ayat 136), tidak seperti yang
dinyatakan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani bahwa untuk memperoleh
petunjuk harus mengikuti agama Yahudi atau Nasrani. Padahal yang disebut
dengan "petunjuk" adalah mengetahui kebenaran dan mengamalkannya.
Kebalikannya adalah tersesat baik dengan tidak mengetahui yang hak
maupun dengan tidak mengamalkannya setelah mengetahuinya. Keadaan
seperti inilah, yakni berpaling dari petunjuk itu yang mengakibatkan
mereka berada dalam syiqaq (permusuhan), dan biasanya jika sudah terjadi
permusuhan, maka orang yang bermusuhan itu akan berupaya sekuat tenaga
mengerahkan kemampuannya untuk menyakiti musuhnya, dan yang mereka
musuhi dalam hal ini adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan
para sahabatnya, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala menjanjikan akan
menjaga Beliau dari gangguan mereka; karena Dia mendengar semua
pembicaraan dan Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan di
belakang mereka, Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak, yang zhahir
maupun yang tersembunyi. Jika demikian, maka cukuplah Allah sebagai
penjaga Rasul-Nya dari gangguan musuhnya.
Allah
Subhaanahu wa Ta'aala memenuhi janji-Nya, Dia menjaga Rasul-Nya dan
rasul-Nya berhasil menyampaikan risalahnya semua tanpa ada yang
dikurangi sedikit pun. Di dalam ayat ini pun terdapat mukjizat Al
Qur'an, di mana Al Qur'an sudah mengabarkan sebelum terjadinya sesuatu
dan kenyataannya sesuai dengan yang dikabarkan itu.
[15]
Shibghah artinya celupan. Shibghah Allah: celupan Allah yang berarti
iman kepada Allah yang tidak disertai dengan kemusyrikan, bisa juga
diartikan fitrah atau agama Allah, yakni "Peganglah agama Allah, di mana Dia menciptakan kalian di atasnya."
Memegang agama Allah ini menghendaki untuk melaksanakan ajaran Islam
baik amalan tersebut terkait dengan zhahir maupun batin serta memegang
'aqidah Islam di setiap waktu sehingga hal itu menjadi shibghah dan
sifat yang melekat pada diri seseorang. Jika sudah melekat, tentu kita
akan senantiasa tunduk kepada perintah-Nya dengan sikap rela, cinta dan
sebagai pilihan bukan karena terpaksa. Pengamalan ajaran Islam pun
menjadi tabi'at dirinya seperti celupan yang merubah warna pakaian
sebelumnya. Dirinya akan memiliki akhlak mulia, amalan yang indah dan
mendahulukan perkara utama. Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala
berfirman dengan rasa takjub yang membuat orang-orang yang berakal
terpesona, "siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah?"
yakni tidak ada yang dapat merubah orang lain sehingga menjadi indah
dipandang selain syari'at Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Untuk mengetahui
kehebatan shibghah Allah, cobalah bandingkan antara seorang hamba yang
beriman kepada Allah dengan iman yang benar, tentu akan membekas dalam
dirinya rasa tunduk baik dari hati maupun anggota badannya kepada Allah,
ia senantiasa memiliki sifat mulia, seperti jujur lisannya, banyak
kebaikannya, sedikit bicara, banyak berbuat, sedikit sekali tergelincir,
tidak berlebihan dalam sesuatu selain dalam hal yang memberinya
manfa'at seperti ibadah, berbakti kepada orang tua dan menyambung tali
silaturrahim, sopan, sabar, memiliki rasa syukur yang tinggi, tidak
lekas marah, memenuhi janji, menjaga dirinya dari yang haram, tidak suka
melaknat, memaki, tidak mengadu domba serta ghibah (menggunjing orang),
tidak tergesa-gesa, tidak dendam, tidak bakhil dan dengki, menampakkan
wajah yang senang dan berseri-seri, cinta karena Allah dan benci pun
karena-Nya, ridha karena Allah serta marah pun karena-Nya. Kemudian
bandingkan dengan seorang yang jauh dari syari'at Allah; akhlaknya buruk
seperti suka berdusta, khianat, suka menipu, buruk ucapan dan
tindakannya, tidak ikhlas kepada Allah dan tidak suka berbuat ihsan
kepada orang lain.
[16]
Ayat ini menerangkan tentang bagaimana memperoleh shibghah ini, yaitu
dengan melaksanakan dua asas; ikhlas dan mutaba'ah (mengikuti Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam). Mengapa diambil kesimpulan demikian?
Hal itu, karena ibadah adalah istilah untuk semua perkara yang dicintai
Allah dan diridhai-Nya berupa ucapan dan amalan yang nampak maupun
tersembunyi, dan hal itu tidak akan diperoleh kecuali dengan mengikuti
contoh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan arti ikhlas
adalah tujuan seorang hamba dalam melakukan semua itu untuk mencari
keridhaan Allah dan Inilah ibadah.
Pada ayat
tersebut ada penggunaan isim fa'il (pelaku), yaitu 'aabiduun yang
menunjukkan tetapnya mereka di atas ibadah tersebut, di atas sifat itu
dan hal itu sudah menjadi shibghah (melekat) pada diri mereka.
[17] Yakni kepada ahli kitab.
[18]
Berdebat atau disebut dalam bahasa Arab muhaajjaah artinya berdebat
dalam masalah yang diperselisihkan, di mana masing-masing pihak berusaha
memenangkan pendapatnya dan membatalkan pendapat lawannya. Dalam hal
ini, kita diperintahkan dengan cara yang baik, yakni dengan cara yang
bisa menarik orang yang tersesat kepada kebenaran dan menegakkan hujjah
kepada orang yang susah diajak, menerangkan yang hak dan menjelaskan
yang batil. Jika keluar dari hal tersebut, maka ia bukanlah mujadalah
(berdebat) tetapi sebagai miraa' (debat kusir) yang tidak ada kebaikan
di dalamnya, dan malah menimbulkan keburukan.
Orang-orang
ahli kitab menganggap bahwa mereka lebih dekat dengan Allah daripada
kaum muslim. Anggapan jelas membutuhkan bukti dan dalil. Padahal Tuhan
semua manusia hanya satu yaitu Allah, Dia bukan Tuhan mereka saja,
bahkan Tuhan kita juga. Oleh karena itu, kita dan mereka adalah sama,
karena membedakan antara hal yang sama tanpa ada sesuatu pembeda adalah
batil. Bahkan berbedanya antara yang satu dengan yang lain hanyalah
tergantung pengikhlasan amal untuk-Nya semata, dan ternyata keadaan
seperti ini hanya ada pada orang-orang mukmin, maka tentu mereka lebih
dekat dengan Allah dibanding yang lain. Ikhlas inilah yang membedakan
antara wali Allah dengan wali setan. Dalam ayat ini, terdapat petunjuk
yang halus cara berdebat dan bahwa masalah itu didasari atas menyamakan
hal yang memang sama dan membedakan hal yang memang beda.
[19]
Pernyataan ini muncul karena anggapan mereka bahwa mereka lebih dekat
(dalam mengikuti) dengan para rasul tersebut (Ibrahim, Isma'il, Ishaq,
Ya'qub dan anak cucunya), padahal para rasul tersebut diutus dan wafat
sebelum turunnya Taurat dan Injil, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala
membantah mereka dengan firman-Nya "Kamukah yang lebih tahu atau Allah", padahal Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyatakan dalam firman-Nya di ayat lain:
"Ibrahim
bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia
adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan
sekali-kali bukanlah Dia Termasuk golongan orang-orang musyrik." (Terj. Ali Imran: 67)
Pertanyaan " Kamukah yang lebih tahu atau Allah
" meskipun tidak disebutkan secara tegas jawabannya, tetapi pada
kata-kata tersebut sudah jelas sekali jawabannya sehingga tidak perlu
dijawab sebagaimana kata-kata "Malam itu lebih terang ataukah siang?"
atau "Api itu lebih panas ataukah air?" "Syirk lebih baik ataukah
tauhid?" dsb.
[20]
Syahadah dari Allah ialah persaksian Allah yang disebutkan dalam Taurat
dan Injil bahwa Ibrahim 'alaihis salam dan anak cucunya bukan penganut
agama Yahudi atau Nasrani dan bahwa Allah akan mengutus Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam.
[21] Allah Subhaanahu wa Ta'aala akan menjumlahkan semua amal yang mereka kerjakan dan akan memberikan balasan terhadapnya.
Demikianlah
cara Al Qur'an dalam menerangkan, di dalamnya terdapat wa'd (janji) dan
ancaman, targhib (dorongan) dan tarhib (ancaman), menyebutkan Asma'ul
Husna setelah menerangkan hukum, yakni bahwa perkara agama dan
pembalasan merupakan atsar (pengaruh) dari nama-nama-Nya.
[22]
Dalam ayat di atas terdapat pemutusan hubungan ketergantungan kepada
makhluk, iman dan amal mereka tidak bisa dilimpahkan kepada yang lain
sebagaimana dosa orang lain tidak dilimpahkan kepadanya. Demikian juga
agar kita tidak tertipu oleh nasab, bahkan yang dinilai adalah iman dan
amal shalih, bukan amal nenek moyang kita.
- See more at: http://www.tafsir.web.id/2013/01/tafsir-al-baqarah-ayat-135-141.html#sthash.udnriH8Z.dpuf
0 Komentar